Cerita Bersambung

VALERY

PART SATU

Bagi Valery, hujan sama artinya dengan matahari terbit. Hari-harinya tak seindah dulu ketika Dave Morrison masih ada disini. Ia yakin ia bisa merasakan sentuhan lembut matahari pagi jika anak laki-laki itu disisinya. Dan sekarangpun sama. Bagaimana mungkin hujan lebat kali ini terasa datar-datar saja? Gila, ia bahkan menengadah kelangit dan membiarkan tetes-tetes hujan membasahi wajah dan tubuhnya. Tapi, tetap saja ini tak berpengaruh apapun. Kalau saja, kalau saja dia ada disini, mungkin gadis itu sudah mendengar irama lagu disebar angin, dan melodi-melodi aneh yang disenandungkan hujan.
"Hey! Are you nuts?" Teriak seorang lelaki tua diujung zebracross, tepatnya dibawah halte bus. Ia berkedip dua kali, lalu menjulurkan kepalanya lebih dekat. Ia ingin memastikan jika ia tak salah lihat. Ia juga bingung melihat tingkah gadis itu, terlebih lagi orang itu kelihatan aneh membiarkan tubuhnya basah kuyup di tengah hujan deras seperti ini. Dan ditengah jalan raya! "Look, she doesn't even move from here..." Bisik wanita paruh baya kepada temannya dibawah naungan payung hijau ketika melewati garis bercat putih yang berjejer rapi.
"Ya ampun! Ada apa dengannya?" Sahut pejalan kaki lainnya. Tiba-tiba bunyi beeb dari klakson menderu jalanan. Seorang polisi lalu-lintas terlihat menarik lengan gadis itu ketepi trotoar. Kening polisi yang berpostur tinggi itu berkerut, ia memiringkan kepala sedikit, lalu menatap gadis remaja itu dengan tatapan bertanya-tanya. "Dimana orang tuamu?" Tanyanya yang di jawab dengan sikap mematung dari sang gadis.
"Apa kau bisa bicara? Bisa melihat?" Tanya polisi itu lagi sambil menggoyangkan tangan kanannya didepan wajah gadis aneh itu. Satu anggukan kecil dari gadis yang bernama Valery itu disambut dengan helaan napas lega dari pria berseragam itu. Bukan apa-apa, ia hanya tak perlu menyeret gadis itu ke kantor polisi dan mencari keberadaan orang tuanya. Merepotkan sekali.
"Baiklah, jadi kau bisa bicara dan melihat. Lalu, dimana orang tuamu? Tinggal dimana kau?"
Valery mengedipkan mata berkali-kali seperti baru mendapatkan nyawanya kembali. Matanya beralih dari jalan raya, kearah polosi itu. "Maaf, aku harus pergi!" Sahutnya kemudian, lalu melangkahkan kaki secepat mungkin. Ia tidak peduli kepada petugas jalan raya yang memandangnya kebingungan, bahkan tatapan aneh orang-orang disekitar bus stop itu.
 Valery menatap lurus kedepan, dan terus melangkahkan kakinya yang dibungkus sepatu bertali itu dengan pasti. Hujan masih saja mengguyur sebagian besar kota. Ia tak keberatan jika dress polkadot selutut yang dipakainya basah kuyup, bahkan kardigan wolnya juga terlihat lepek karena hujan. Tak puas hanya dengan berjalan cepat, gadis berambut lurus panjang itu lantas berlari dengan sisa tenaga menyusuri Downtown Core. Ia kehabisan napas, tertatih, dan pandangannya tiba-tiba menjadi buram. Ia memandang langit kelabu dan pandangannya yang kosong, seketika menghitam.

***


"Kau tau apa artinya kesepian?" Tanya Dave saat  kelas baru saja dibubarkan. Ketika Murid-murid lain berhamburan keluar kelas, Dave dan Valery memilih duduk diam, berseblahan, saling menatap. Valery menarik kedua ujung bibirnya dan membentuk senyuman tipis, ia tak menjawab.
Dave memalingkan wajah membelakangi gadis itu. Ia memandangi jendela kaca yg baru saja basah karena hujan. "Kesepian bukan berarti tak ada orang disampingmu. Itu berarti hatimu tak ada bersamamu. Ia mengembara, hilang jejak, dan mungkin tak bisa menemukan pemiliknya. Jadi, jangan pernah membiarkan hatimu pergi..."
Jangan pernah membiarkan hatimu pergi...
Kalimat itu terus terdengar ditelinga Valery. Ia tersadar dari mimpi. Matanya terasa berat, kaki dan tangannya juga ikut-ikutan kaku. Ia dengan susah payah membuka mata, dan kemudian hanya langit-langit kamar  bercat putih bersih yg dilihatnya. Ia tak kuasa menahan sakit kepala hebat.
"Kau sudah sadar?"
Valery memalingkan wajah mencari asal suara itu. Seorang lelaki tua yang menggenggam erat tangannya terlihat sangat khawatir. Ia terus saja menitikan air mata. Gadis itu tidak tega. Ia memaksakan seulas senyuman tipis, berharap bisa sedikit menghilangkan kesedihan orang tua itu.
"maaf...grandfa'" Ucapnya lirih, menahan tangis.
"Anak bodoh! Untuk apa kau berjalan ditengah hujan deras? Apa kau menginginkan kakekmu ini terkena serangan jantung dan mati?"
Tangis Valery pecah, ia bahkan tak peduli pandangan para suster yang berdatangan mengira sesuatu telah terjadi. Gadis itu begitu terpukul ketika mendengar kata mati.
"Apa yang terjadi?" Tanya seorang suster.
Kakek yang bingung dengan kondisi cucunya itu juga ikut panik. "Apa yang terjadi nak? Dimana yang sakit?" Tanyanya.
Valery menunjuknya didada dengan kepalan tangan. Ia sesegukkan, bangkit dari tempat tidur dan membenamkan kepala dilutut. "Dave, Dave, aku merindukan Dave..." Ucapnya lirih. Para suster merasa adegan ini sangat lucu dan tersenyum menahan tawa. "Kukira cucu anda baik-baik saja, mungkin hanya patah hati yang berlebihan," katanya seraya menarik rekan lainnya keluar kamar yang bertuliskan 102 itu. "Ada-ada saja kelakuan remaja jaman sekarang..." Sambung salah seorang dari mereka sambil menggelengkan kepala.
"Stop menyebut nama anak itu lagi...dia sudah meninggal Vale. Kau juga tau itukan? Dia meninggal..."Ulang kakek, dan kata meninggal ditekankan untuk lebih meyakini cucunya. Valery makin menjadi.
"Tidak, dia tidak meninggal. Aku, aku, tidak pernah yakin kalau Dave sudah meninggal, aku tak pernah melihatnya dengan mataku sendiri. Saat ini dia hanya menghilang..." Sahut Valery tak mau kalah dengan suara lantang.
Kakek menyerah dengan kelakuan Valery yang akhir-akhir ini terlihat aneh. Sejak kepergian Dave sebulan yang lalu, Valery berubah menjadi gadis cengeng yang suka menangis tanpa sebab. Ia bahkan pergi kesekolah 24 jam tanpa pulang kerumah. Gadis itu berkilah, Dave pasti datang kesekolah dan ia menungguinya sampai kepergok satpam yang jaga malam. Tak sampai disitu, Valery bahkan rajin mencari nama Dave Morrison yang ia kenal diseluruh penjuru Singapore. Dan tentu saja pencariannya itu sia-sia. Bahkan keluarga lelaki itupun seperti hilang ditelan bumi. Mereka telah lenyap bersama hati Valery.
"Kakek berharap, Valery, cucu kakek yang dulu selalu ceria dan menyenangkan bisa kembali..." Ujar pria itu sambil mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Ia kelihatan lelah. Gurat-gurat kesedihan tergambar jelas disudut matanya yang agak basah.
"Kau baru mengenal Dave sejak kalian di Taman kanak-kanak. Sedangkan kakek, kakek yang merawatmu sejak kau dilahirkan..apakah kau tidak terluka melihat kakekmu ini menahan kesedihan karenamu? Kau tidak menyayangi kakekmu lagi? Apakah Dave lebih penting dari grandfa-mu ini?" Ujar kakek sedikit lesu.
Valery mengangkat wajahnya yang basah karena air mata. Ia mengusap mata dengan punggung tangan. Dengan perlahan ia menurunkan kakinya hingga menyentuh lantai yang dingin. Berjalan tertatih dan memeluk kakeknya dengan erat. "Maafkan Valery kek, maaf, ini tak akan terjadi lagi. Vale janji...." Ucapnya sambil sesegukkan. Kakek mendekap erat cucu kesayangannya itu. Mereka menangis bersama.

***


PART DUA

Angin pagi bertiup lembut membelai pepohonan dan tumbuhan hijau yg merupakan latar sepanjang jalan Fort Canning Park. Tempat ini merupakan salah satu tempat untuk berwisata sekaligus lebih mengenal sejarah. Terlihat sekitar puluhan remaja berseragam yang berjalan menyusuri area tersebut. Seorang wanita yang memakai stelan jas dengan rok selutut merupakan pemimpin kelompok itu, ia sedang menjelaskan perihal tempat yang lebih mirip di abad 14 tersebut. Mereka sedang tour keliling kota sebelum upacara kelulusan Victoria Senior High School dua minggu lagi.
 Beberapa dari kelompok remaja itu begitu memperhatikan dengan kepala yang dianggukkan. Beberapa lainnya terlihat bosan dan menjauh, banyak dari mereka juga lebih memilih bercengkrama dengan teman sekelompok dan membicarakan hal lain.
Hanya satu dari mereka yang terlihat menyendiri dibawah pohon, menghadap sungai berwarna jernih, dan membiarkan rambut panjangnya perlahan ditiup angin. Ia sedang menutup mata, hingga tidak menyadari kehadiran seseorang yang berdiri disampingnya.
"Sedang apa kau disini?" Karena yang ditanya tidak menggubris, remaja lelaki berseragam itu menoleh ke orang disampingnya. "Tempat ini agak membosankan menurutku.." Lanjutnya.
Sigadis membuka matanya, mengedipkan dua kali, lalu memutar leher ke asal suara. "Kau lihat sungai yang jernih itu? Jika kau menabuhnya dengan kedua tanganmu, maka ia akan mengeluarkan bunyi yang indah dan..."
"Valery. Jujur, aku selalu bingung dengan semua kata-katamu yang terdengar aneh. Dan, aku bahkan tidak mengerti dengan ucapanmu barusan. Tidak bisakah kau lebih berpikir logis? Hmm?"
Valery terdiam. Ia sadar orang yang berada disampingnya bukanlah Dave yang ia rindukan. Jikalau itu Dave, ia akan menjawabnya dengan puitis. Bahkan hal sekecil seranggapun terlihat mempunyai arti lebih mendalam dimata Dave. Karena Dave seseorang yang melankolis, lembut, dan dewasa.
"Jadi kau belum bisa melupakan dia? Dia tak pantas untuk kau pikirkan sampai sejauh ini.." Katanya seketika menghempaskan bayangan Dave dibenak Valery. Ia seperti bisa membaca pikiran gadis itu yang tertuju kepada pusaran dunianya. Dave!
"Tau apa kau soal Dave? Aku, aku, yang sangat mengenalnya.." Balas Valery geram. Lawan bicaranya tak menanggapi, tapi langsung menarik lengan gadis itu, lalu melangkah cepat. Valery memberontak, "Shone, lepaskan!" Tapi cengkraman orang itu lebih kuat dari kekuatan Valery. Bahkan Valery nyaris tersungkur ke setapak taman.
Gadis itu tak percaya, Shone membawanya menuju tempat parkir dan lelaki itupun mulai menstarter motor besarnya, menaikkan gas, lalu menyuruh Valery juga ikut naik. Ia menurut. Entah apa yang ada dipikiran teman lelakinya itu jika ia menolak.
Motor melaju menyusuri Marina Bay, Orchard Road, dan kendaraan itu kian melaju kencang hingga Valery memilih untuk menutup matanya karena perih terkena debu walau ia sedang memakai helm.
Mereka tiba disebuah tanah lapang yang luas nan hijau beberapa saat kemudian. Kecepatan kendaraan roda dua itupun perlahan melemah. Valery terlihat kebingungan, rasa penasaran memuncak. Ia meloncat turun dari motor.
"Dimana ini?" Tanyanya gusar, begerak tak jelas ketika melihat papan beton bertuliskan Taman Makam Rafflyes. Sekali lagi Shone menarik lengan Valery hingga gadis itu sempat tersentak kaget. "Ikut aku..." Ucapnya datar tanpa intonasi.
"Lihat!" Sahut Shone yang terdengar seperti perintah, sambil menunjuk ke salah satu makam. Valery melebarkan matanya karena shock. Ia mundur perlahan dan membalikkan badan.
"Aku tak ingin membuatmu sedih, makanya sebelum ini aku hanya diam saja. Pikirku lebih baik bagimu jika kau merasa dia mungkin akan kembali. Tapi kau semakin menjadi-jadi. Kau tak peduli jika ada orang lain yang selalu mengkhawatirkan dirimu. Lihatlah kenyataan ini Valery, lihat!" Pinta Shone lagi. Sementara gadis itu terkulai lemas diatas rerumputan hijau. Menangis tanpa suara.
Shone memapahnya berdiri. Ia merasa sedikit bersalah terhadap gadis itu. Valery memberontak. "Kau tau sendiri jika keluarga Dave adalah keluarga yang cukup dikenal di Negara ini. Mereka menutupi kejadian ini demi menjaga nama keluarga mereka. Dave mengalami kecelakan dan langsung meninggal dua bulan yang lalu." Lanjut Shone memperjelas. Pria berdarah Thailand itu tak sadar jika perbuatannya ini seperti mempertegas kalau dunia Valery memang telah berakhir.
Valery histeris, berteriak marah, sambil menutup telinga dengan kedua tangan. “Cukup! Cukup! Aku tak mau mendengarnya lagi.” Gadis itu mencoba berdiri dengan kaki lemas. Shone menangkap lengan gadis itu yang hampir terjatuh, namun Valery mengibaskan tangannya.
Valery kembali berhadapan dengan makam tanpa bunga didepannya. Ia melangkah mendekat seperti ingin memastikan sesuatu yang tak dapat ia percayai.
Rest in Peace
Dave Morrison
25 january 1989-12 April 2007
Dunia seakan berputar, Valery merasakan sekujur tubuhnya mendingin. Ia seketika menjadi rapuh, bahkan hanya dengan satu sentuhan saja dapat merobohkan gadis malang itu. Hari-hari yang dipenuhi Dave selama 12 tahun, bukanlah waktu yang singkat. Lelaki itu bukan hanya sekedar teman terdekatnya. Ia juga kakak, sahabat, saudara, bahkan orang tua bagi Valery. Perasaan lain yang timbul saat 1 tahun terakhir ini hanya membuatnya hampir gila. Bagaimana tidak? Ia bahkan mencintainya...cinta layaknya seorang gadis kepada pria idamannya. Walau Dave tak pernah menunjukkan langsung, gadis itu tau ia juga memendam rasa yang sama.

Tapi kenyataan telah menghancurkan Dave yang ia kasihi. Dengan kasar kepergian lelaki itu telah merenggut kehidupan Valery yang sempurna. Ia hancur. Tak berbekas!
***

Comments

Popular posts from this blog

Life Spectrum

Apa itu alam bawah sadar?

Morning Melody..