short story

Black Cappuccino
Ciampino Airport, Roma…
Bandara Ciampino tampak ramai disore itu. Kerumunan manusia memenuhi ruang tunggu, juga loker-loker pembelian tiket. Luna Olivia menyisir pemandangan disekitarnya lalu menghembuskan napas dengan keras. Kepalanya beredenyut-denyut hingga bisa meledak kapan saja. Gadis itu mendesah pelan kemudian memijat-mijat dahinya dengan sebelah tangan. Hampir 10 menit Luna berdiri disamping ban berjalan, untuk menunggu bagasi miliknya muncul dengan sendirinya.
Gadis berambut panjang yang diurai dan berponi itu kembali melirik ujung ban berjalan dengan tatapan lemas. Perjalanan yang cukup panjang dari Indonesia sudah membuatnya stress dan ia juga harus menununggu untuk mendapatkan bagasinya. Sungguh menguji kesabaran gadis itu. Mata Luna menangkap sebuah koper pink terang yang sedang meluncur pelan mendekatinya. Gadis itu mengangkat koper yang lumayan berat itu kemudian meletakannya dilantai, lalu menarik pegangannnya dengan keras. Ia menghela napas lagi lalu menyeret koper disebelah tangan dan menjinjing handbag ditangan lainnya sambil melangkah cepat.
Kepalanya kembali berdenyut-denyut. Luna menatap informasi cuaca yang menunjukkan suhu udara disore itu yang mendekati -2 derajat Celcius. Ia menghentikan langkah kaki yang tadinya melebar, lalu merapatkan overcoat berwarna cream, kemudian merapikan syal yang berbahan wol dengan warna senada yang dililitkan dileher. Ia memang sering berkunjung ke Roma jika libur sekolah tiba, tapi tidak pernah berkunjung jika sedang musim dingin seperti sekarang ini. Punggungnya terasa berat, dan ia setengah menyeret langkah kakinya. Tiba-tiba senyum Luna perlahan mengembang. Ia menatap Ana yang sedang melambai kearahnya, lalu pandangannya berpindah ke Juan, suami kakaknya itu juga sedang tersenyum hingga giginya kelihatan.
Luna melangkah mendekati pasangan suami istri itu kemudian menyapa mereka sambil tersenyum lebar, lalu memeluk keduanya dengan hangat secara bergantian. “Gimana kabarmu mba?” tanya Luna sambil menatap kakak yang ia rindukan selama setahun ini, lalu ia menoleh kearah Juan. “How are you going big brother?” tanya Luna sambil tersenyum dan dijawab Juan dengan mengacak-acak rambut gadis itu. Luna mendesis kesal dan cemberut sambil berujar, “I’m not a little girl anymore…!” katanya tegas sambil merapikan rambut panjangnya yang lurus. Ana dan Juan berpandangan, kemudian saling melemparkan senyuman. Luna semakin cemberut.
***


Luna merebahkan diri dikasur setelah tiba dirumah. Ia teringat akan oleh-oleh yang ingin ia berikan kepada Ana dan juga suaminya. Tiba-tiba Luna bangkit dari tidurnya dan melirik koper pink terang yang disandarkan di sudut ruangan. Ia menarik koper dan merebahkannya diatas kasur, lalu mencari kunci koper tersebut didalam handbag-nya. Gadis itu terpana, pasalnya kunci tak sesuai dengan gembok koper itu. Ia memaksa membuka untuk yang ketiga kalinya hingga kuncinya patah. Luna geram bukan kepalang. Ia melempar kunci yang patah itu, kemudian berlalu kedapur dan mendapati Ana dan juga Juan sedang asyik mengobrol dengan seorang pria. Dari penampilannya, Luna bisa menebak kalau pria itu jauh lebih tua diatasnya. 25 mungkin? pikir gadis itu menebak-nebak.
 “What’s wrong Luna? You look not good…apa kau tidak merasa nyaman dengan kamarmu?” tanya Juan sedikit khawatir dan membuyarkan lamunan adik iparnya itu. Pria berdarah Italia itu memang sosok yang perhatian dan karena itulah Ana terpikat padanya. Luna menggeleng dengan cepat. “Ah, bukan. Aku hanya mematahkan kunci gembok koperku tadi dan tidak tau bagaimana harus membukanya,” ujarnya sambil menggaruk kepala.
“Oya Luna, ini Eric Fernandez sepupu Juan yang baru datang dari Venezia kemarin sore,” ujar Ana memperkenalkan. Keduanya saling menjabat tangan dan menyebutkan nama masing-masing. Menurut Luna, Eric tipe orang yang bisa dekat dengan siapa saja. Buktinya pria itu sedang mengoceh panjang lebar mengenai kota Venezia yang katanya wajib dikunjungi gadis itu selama berada di Italia. Sementara Luna hanya tersenyum tipis. Bukannya ia tidak suka, hanya saja ia terlalu lelah walau hanya sekedar untuk berbasa-basi.
“Mungkin Eric bisa menolong membuka kunci gembokmu. Dia memang ahli dalam segala hal,” sahut Ana memberi saran. Sementara Eric hanya tersenyum tipis dan mengangkat bahu. “Mungkin saja!”
***
Setelah selesai membuka cengkraman gembok dari koper gadis itu, Eric tampak puas dengan usahanya. Ia tersenyum tipis kemudian menarik napas panjang. “Selesai…” sahutnya kemudian.
Luna tersenyum lega dan menoleh kearah pria yang bermata biru itu sambil berujar, “mille grazie… per il suo aiuto[1]...” sahutnya dengan bahasa Italia yang terbata-bata. Sementara Eric menatap gadis itu sambil tersenyum tanpa alasan dan berlalu keluar kamar kemudian kembali bergabung bersama Ana dan Juan diruang tengah.
“Tidak mungkin!!! apa ini?” sahut Luna setengah shock. Ia terkejut ternyata itu bukanlah koper miliknya. Luna baru menyadari hal itu ketika melihat kode penerbangan yang tertera memang bukan namanya. Ia masih mematung dan hanya menatap koper yang sama persis dengan miliknya. Ia membongkar isi muatan koper tersebut dan yang terlihat hanyalah tumpukkan kain. Gadis itu tertegun menatap sebuah kepingan kaset CD yang berada diantara tumpukan kain. Luna terlalu penasaran dengan kaset tersebut, dan tanpa pikir panjang ia langsung memutarnya dilaptop. Gadis itu kembali mengangkat keningnya, karena yang terlihat dilayar hanyalah sekumpulan kode acak yang bergerak-gerak secara tidak beraturan. Ia menekan tombol enter dan escape secara bergantian. Tiba-tiba terdengar pintu kamar yang diketuk beberapa kali. Gadis itu tersentak kaget dan bergegas membuka pintu. Sambil melipat tangan, Luna menatap Eric yang kini sedang tersenyum lebar.
“Ana dan juga Juan sedang pergi ke toko membeli bahan makanan untuk nanti malam dan...” ujar Eric cepat dan ia terlihat sedikit bingung apa yang harus dikatakannya. Luna masih tidak bergeming. Pria itu terlihat sedang berpikir lalu melanjutkan, “apa kau mau makan sesuatu? Ana memintaku untuk memanggilmu, setidaknya aku bisa membuatkanmu sepiring pasta atau...”
“Apa kau bisa membuatkan lasagna untukku?” tanya Luna dengan mata berbinar-binar. Ia memang penggemar berat makanan asal Italia itu. Eric menatapnya sejenak lalu berujar, “tentu saja!”
“Tapi, bisakah kau membantuku sekali lagi?” tanya Luna dengan tatapan memelas, sementara Eric sedikit mengangkat keningnya. Gadis itu berbalik, kemudian menunjuk kearah laptop yang diletakkan diatas tempat tidur. Luna menceritakan perihal koper yang salah dan juga mengenai kepingan CD tersebut.
Pria itu mendekati laptop dan melihatnya dengan seksama. Ia sedikit bingung, lalu berusaha memecahkan kode tersebut. Tangannya bergerak cepat memencet keyboard laptop. Mata Eric terlihat awas dan tangannya bergetar ketika kode yang berhasil ia pecahkan membentuk sebuah kalimat, “Black Cappuccino.” Luna memperhatikan perubahan sikap pria itu dan menatap Eric dengan tatapan bertanya-tanya.
You are in a big trouble…!” ujar Eric sambil menoleh kearah Luna yang sedang memandanginya dengan pandangan bingung. Tanpa menjelaskan apapun, dengan cepat Eric mengeluarkan kaset CD tersebut dari laptop dan menarik tangan gadis itu menuju dapur. Luna yang masih bingung dengan kejadian tersebut langsung mengibaskan tangan Eric. Pria itu membuang napas dengan frustasi dan berujar, “aku tidak punya waktu untuk menjelaskan ini. Kita harus segera pergi dari tempat ini sekarang juga,” ujarnya masih belum menjelaskan apapun. Ia kembali menarik tangan Luna. “It’s too late…” sahutnya lagi ketika mendengar decitan mobil yang tiba-tiba berhenti dari arah depan rumah.
Luna pasrah dan ia juga masih tidak mengerti dengan sikap pria itu yang aneh. Eric mendekap mulut Luna dan menarik lengan gadis itu kearah belakang pekarangan rumah, kemudian bersembunyi diantara bunga-bunga yang rimbun. Kepanikkan Luna semakin menjadi. Tubuhnya bergetar dan keringat dingin mengalir deras. Ia menahan gejolak emosi yang tercekat di tenggorokkan.
Listen to me carefully Luna, just stay here beside me and please don’t make a sound…do you get it?” ujar Eric setengah berbisik sambil memegang bahu gadis itu yang dijawab dengan anggukkan kepala Luna yang lemah. Eric merogoh ponsel dari dalam saku jaketnya, lalu memencet tombolnya dan berbicara dengan bahasa Italia yang sama sekali tidak dimengerti gadis itu. Terdengar barang-barang yang berjatuhan dari dalam rumah, lebih tepatnya kegaduhan. Luna menatap Eric dengan pandangan takut dan pria itu hanya mengangkat jari telunjuk yang ditempelkan dibibir. Langkah sepatu semakin terdengar jelas, dan seseorang tengah mendekati  tempat mereka bersembunyi!
Kepanikkan Luna semakin menjadi-jadi. Ia mendekap mulutnya dengan kedua tangan, mencoba menenangkan diri sendiri. Demi Tuhan, gadis itu belum pernah berada didalam situasi seperti sekarang ini. Air matanya mengalir deras dan jantungnya berdegup kencang. Waktu seakan tak mau berputar dan hanya berjalan lambat. Sangat lambat, bahkan ia bisa menghitung setiap detiknya. Eric yang menyadari kepanikkan gadis itu, kemudian mendekap Luna kedalam pelukkannya. “Come down…everything will be okay,” bisiknya lirih nyaris tidak terdengar.
Langkah orang yang sedang berjalan mendekati mereka terhenti dengan panggilan seseorang dari ujung sana. Luna dan Eric akhirnya bisa bernapas lega. Dengan sigap, Eric menarik tangan Luna dan berjalan cepat mendekati jendela kaca berukuran besar yang berada dekat dengan tempat mereka bersembunyi. Pria itu membuka kaca jendela dengan perlahan, kemudian menjelaskan kepada Luna bahwa mereka harus melarikan diri secepatnya.
Keduanya kini telah berada dihalaman samping rumah dan mencari cara agar bisa melarikkan diri. Eric terlihat sedang memikirkan sesuatu, kemudian mengamati dengan seksama situasi didalam rumah yang berantakan. Pria itu kembali mengintip dari balik jendela dapur, tetapi ia tidak dapat melihat apapun karena memang tertutup oleh tirai jendela. Ia hanya mendengar samar-samar  apa yang mereka ucapkan. Tiba-tiba ponselnya berbunyi nyaring. Luna tersentak kaget dan menatap Eric dengan pandangan was-was, sementara pria itu buru-buru menonaktifkan ponselnya. Tapi tetap saja mereka terlalu terlambat untuk menghindar, karena seorang pria yang mendengar deringan ponsel itu langsung mendekati jendela tempat mereka berdiri. Keduanya terkesiap sambil menahan napas.
Untuk yang kesekian kalinya Eric menarik tangan Luna. Mereka berusaha lari sekencang mungkin dengan badan setengah membungkuk, menuju sebuah mobil terdekat. Tembakkan terdengar sekali, dua kali, dan kini berkali-kali.  Eric menarik Luna lagi agar berlari didepannya. Tiba-tiba pria itu meringis kesakitan. Eric menoleh kearah punggungnya yang tertembak. Untung saja mereka berhasil mencapai mobil van hitam terdekat dan menjadikannya sebagai tameng.
Ia mengeluarkan sebuah pistol dari dalam bajunya dan menembak kearah orang-orang itu dan sesekali bersandar dibelakang pintu mobil dengan napas yang terengah-engah. Eric berteriak kearah Luna, “buka pintu mobil itu!” pinta pria itu, lalu kembali menembak. Dengan tangan yang gemetar dan wajah Luna yang semakin pucat pasi, Luna membuka pintu mobil. Eric langsung menyerobot kedalam mobil, lalu disusul Luna dan mereka berhasil menjalankan mobilnya. Tentu saja orang-orang itu tidak membiarkan mereka melarikan diri dengan mudah karena beberapa mobil berusaha melakukan pengejaran.
Eric mengemudi dengan kecepatan tinggi. Ia berusaha menekan pundaknya dengan sebelah tangan agar tidak terlalu banyak mengeluarkan darah. Tapi ia menyimpir sebuah sedan dan mobil van yang mereka tumpangi terhuyung kesamping. Luna sesegukkan dan menutup kedua telinganya sambil merunduk. Tiba-tiba gadis itu mendengar sebuah tembakkan tepat ditelinganya dan semuanya terasa gelap, sunyi…
***


Sebuah basement yang berada diruang bawah tanah terlihat terang-benderang dengan sinar lampu neon putih yang cerah. Eric melingkari perban putih dipundaknya, lalu melirik seorang gadis yang sedang terbaring disofa yang masih tertidur pulas. Atau lebih tepatnya pingsan? Entahlah… yang penting gadis itu tidak terluka sedikitpun, pikir Eric dalam hati. Pria itu meraih jaket dengan sebelah tangan dan merogoh sakunya. Ia menemukan sebuah kaset CD dan ia tidak menyangka bisa mendapatkan benda tersebut secara tidak sengaja. Padahal ia sudah berusaha keras mencari tau tentang informasi jaringan organisasi teroris international yang berlebelkan “Black Cappuccino” itu, selama ia menjadi seorang agen lapangan di FBI. Ia menemukan beberapa data penting dari dalam CD tersebut. Pria itu menatap layar computer tanpa berkedip sambil memainkan jari-jari tangannya di keyboard, lalu kini perhatian hanya tertuju pada sebuah folder yang bertuliskan “Italian Job.” Tak lama kemudian, Eric tercengang dengan apa yang ia lihat. Tangannya bergetar hebat dan bola matanya membesar.
***
Luna membuka matanya perlahan dan melihat langit-langit ruangan yang sedang berputar-putar mengililinginya. Dunia lainkah ini? Apakah ini yang dinamakan surga? tanya gadis itu dalam hati. Tiba-tiba sesosok wajah tampan bermata biru muncul dihadapannya dengan senyuman yang menghiasi. Malaikatkah engkau? pikirnya lagi.
“How do you feel?” tanya orang yang suaranya terdengar jelas ditelinga gadis itu. Luna baru menyadari itu wajah Eric dan ia memang masih berpijak dibumi. Kilasan-kilasan kejadian mengerikan hari ini kembali menyusupi ingatannya. Tiba-tiba saja ia bangkit dari tidurnya dan menyentuh kepala yang serasa mau meledak. Dan tentu saja Luna masih menyimpan segudang pertanyaan kepada pria yang ada dihadapannya itu.
Eric dengan senang hati menjelaskan perihal kejadian tadi, juga mengenai identitas aslinya sebagai agen FBI yang memang tidak banyak diketahui orang banyak. Ia terlalu takut jika Luna sampai tidak mempercayainya. Memang aneh, tapi dalam hati Eric benar-benar berterima kasih kepada gadis itu karena informasi yang ia dapatkan bahkan lebih berharga dari nyawanya. Luna hanya mengangguk-ngangguk mengerti, namun perasaannya masih kacau dengan pengalaman buruknya itu. Eric meminta Luna untuk tidak menghawatirkan kakaknya dan tetap berbaring disofa hingga Ana datang menjemputnya.
***
Hampir enam jam berlalu, tapi tidak ada tanda-tanda jika Ana ataupun Juan muncul untuk menjemputnya. Luna menyisir pemandangan disekitarnya dengan perasaan was-was yang mulai membendung hati dan pikirannya. Eric belum juga kembali setelah pergi beberapa saat yang lalu. Mungkinkah Eric sudah membohonginya? Mungkinkah pria itu adalah salah satu anggota mafia? dan beribu pertanyaan lainnya. Ia mulai berprasangka buruk terhadap pria itu. Luna bangkit dari sofa dan meraba saku celana pendek yang sedang dipakainya. Untung saja ia mempunyai kebiasaan unik yang selalu menyimpan ponsel disaku baju atau celana walau ia berada didalam rumah sekalipun. Dengan cepat ia memencet tombol ponsel dan nada sambung mulai terhubung. “Hallo...Oh, Juan? This is Luna speaking. Where is my sister? Is she okay?” tanya gadis itu sambil bergerak-gerak gelisah dan anehnya, Juan menjawab dengan nada gugup dan terdengar takut. Tidak biasanya kakak iparnya bersikap seperti itu. Dan tut…tut…tut…panggilan yang terhubung tiba-tiba putus. Luna kebingungan setengah mati.
Beberapa jam kemudian, pintu basement berdecit kuat. Wajah Eric muncul dari balik pintu dengan senyumannya yang khas dan memandangi Luna dengan wajah bingung. Gadis itu terperanjat dan langsung panik. Ia menyambar sebuah tongkat baseball terdekat dan mengarahkannya kearah Eric dengan tangan yang bergetar. “Who are you?” tanya Luna dengan nada tinggi. Ia menarik napas dalam-dalam dan kembali menanyakan hal yang sama, sementara pria itu masih bingung dengan sikap Luna. Eric menggaruk kepalanya dan memandangi gadis itu. “Bukankah sudah kujelaskan tadi? aku ini seorang agen FBI!” ujar Eric dengan nada yakin. Tapi Luna tetap tak mau mendengarnya dan terus mengarahkan tongkat tersebut.
Tiba-tiba seseorang yang sudah sangat dikenal Luna muncul dari balik punggung Eric. Luna menjatuhkan tongkat baseball dan berlari kearahnya. Ia mendekap orang itu dan menangis sejadinya. “Mba gak pa-pa kan?” tanya Luna panik begitu juga dengan kakaknya. Mereka saling menanyakan keadaan masing-masing dan menangis tanpa melepaskan pelukkan. Eric membuang napas dengan pelan dan tersenyum tipis, kemudian mengambil dua kaleng minuman ringan dari dalam kulkas.
Setelah yakin dengan keadaan masing-masing, kedua kakak-beradik itu lalu bersandar disofa sambil memegang minuman kaleng yang disodorkan Eric. Ana masih saja terdiam, wajahnya seperti baru mengalami hal yang paling buruk. Bahkan ada luka lebam diwajahnya. Luna menggenggam tangan kakaknya dan menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. “Lalu dimana Juan, mba? tadi Luna sudah menelponnya dan…” ujar Luna tapi tiba-tiba ia terhenti karena air mata Ana yang semakin mengalir deras. Eric memang tidak mengerti apa yang Luna ucapkan dengan bahasa Indonesia, tetapi ketika mendengar nama Juan disebut, ia langsung menoleh kearah gadis itu. Begitu juga dengan Luna yang kini sedang memandang Eric dengan bingung.
“Don’t ask about him anymore Luna,” jawab Eric mengambang tanpa penjelasan. Luna semakin bingung. Eric melanjutkan, “he’s one of them…my cousin and your sister’s husband Juan,” ujarnya pelan. Sementara Luna begitu terkejut dengan kenyataan itu. Apa ia sudah salah mendengarnya? Juan seorang suami yang perhatian adalah salah satu dari anggota terosist itu? tanya Luna dalam hati. Gadis itu langsung menyadari kesedihan Ana dan kembali memeluk kakaknya itu.
“Entah apa yang sudah terjadi jika Eric terlambat menyelamatkan mba, Na. Mba masih belum percaya dengan semua ini,” ujar Ana lirih sambil menahan tangis. Seakan baru menyadari sesuatu, Luna melepaskan pelukannya dari Ana dan menatap Eric dengan pandangan takut. “I called Juan before…” ungkap gadis itu. Ana dan Eric saling berpandangan. Dengan sigap Eric langsung mematikan system komputernya dan meraih CD kedalam tas, juga mengambil beberapa senjata yang tersimpan di sebuah koper hitam dari dalam lemari besi. “Good job little girl…kau akan membuat kita semua kembali berada dalam bahaya,” ujar Eric dengan nada sarkatis.
Untungnya mereka lebih cepat keluar dari basement sebelum orang-orang itu berhasil melacak keberadaan tempat tersebut. Dari kaca spion mobil, Eric mengamati beberapa orang dengan pakaian serba hitam yang memasuki tempat ruangan basement berada. Mata Luna membesar ketika menangkap sosok Juan ada diantara mereka. Gadis itu menoleh kearah Ana yang sedang mematung dan begitu terpukul.
***
Mobil yang dikendarai Eric meluncur dengan pelan menantang hujan salju yang berjatuhan. Luna memandang keluar jendela mobil sambil menarik napas panjang, menatap matahari yang baru muncul dari balik awan. Tapi bagaimanapun juga, ia bersyukur karena dengan begitu setidaknya identitas asli Juan terbongkar dan kakaknya dalam keadaan baik-baik saja. Ia juga pasti akan berpikir dua kali jika ingin mengunjungi kota Roma lagi. Tentu saja ia sangat trauma dengan pengalaman buruk selama berada disini.
“Apa yang kau pikirkan?” tanya Eric sambil menoleh kearah Luna yang  duduk dan melamun disampingnya. Sementara Ana sedang terlelap dibagian belakang mobil. Luna kembali menarik napas panjang. “Thank you so much…and le domando scusa[2],” ujarnya yang mencampurkan bahasa Inggris dengan bahasa Italia. Eric mendesah pelan dan kembali membuka suara, “tidak, seharusnya aku yang berterima kasih. Kau membuat pekerjaan yang bertahun-tahun kukejar akhirnya mendapatkan hasil.” Eric tidak mempedulikan tatapan Luna yang bertanya-tanya. Ia melanjutkan, “sebagai imbalannya, aku sudah memesan dua tiket ke Indonesia hari ini juga. So, you don’t have to worry about that!” ujar Eric pelan. Untuk yang kesekian kalinya, Luna menarik napas panjang.
***
Luna Olivia tidak menyangka bisa berada dibandara selama dua hari berturut-turut, dan kali ini ia bahkan tidak membawa apapun. Tak ada koper pink yang sudah membuatnya trauma. Mungkin ia bahkan tidak berani menyentuh koper-koper lainnya. Tapi ia sudah mempelajari satu hal, yakni ia harus berhati-hati terhadap barang yang bukan miliknya, ataupun berhati-hati terhadap apapun disekitarnya. Karena bahaya memang bisa datang dimanapun dan kapanpun.
Ana berusaha menekan perasaan sedihnya dan berusaha tegar. Ia memeluk Eric dan berterima kasih atas bantuan pria itu. Ia bahkan tidak berani percaya pada kenyataan menyakitkan mengenai Juan, seorang suami yang sudah mendampinginya selama dua tahun terakhir. Luna dan Ana bergantian mengucapkan kata-kata perpisahan kepada Eric. Ana kembali memeluk Eric dan berujar, “mungkin kami tidak akan pernah kembali kekota ini Eric. Tapi kau harus mengujungi kami di Indonesia kapanpun kau mau,” jelas Ana lalu ia seperti melihat seseorang dengan mantel hitam yang sedang memperhatikan mereka. Dalam hitungan ketiga orang itu sedang mengarahkan pistol kearah mereka. Tepatnya kearah Luna karena gadis itu berdiri dibelakang Ana dan Eric.
Ana berlari kearah Luna dan bunyi tembakan menggelegar di seantero bandara Ciampino. Orang-orang berlarian panik. Eric mengeluarkan pistol dari dalam mantel abu-abu yang dipakainya dan mengejar orang itu. Sementara Luna terpaku dan matanya terkejut luar biasa. Tubuh Ana jatuh kelantai dari pelukan Luna dan darah mengalir deras dari kepalanya.
Tangan Luna bergetar dan air matanya mulai berjatuhan. Ia tersungkur kelantai, kemudian mengangkat kepala Ana kepangkuannya. Ia menatap kakaknya yang sedang menarik napas dengan susah payah. “Hi-dup-lah dengan baik…” ujar Ana terpotong-potong sambil menarik napas yang hanya sampai ditenggorokkan dan akhirnya ia tak lagi berucap lagi. Luna menangis histeris dan terus memeluk Ana yang kini sudah tidak bergerak sedikitpun. Hatinya seperti ditusuk-tusuk. Sakit.




[1] Terima kasih banyak atas bantuan anda…
[2] Maafkan saya…

Comments

Popular posts from this blog

Life Spectrum

Apa itu alam bawah sadar?

Morning Melody..