short story
Black Cappuccino
Ciampino
Airport, Roma…
Bandara
Ciampino tampak ramai disore itu. Kerumunan manusia memenuhi ruang tunggu, juga
loker-loker pembelian tiket. Luna Olivia menyisir pemandangan disekitarnya lalu
menghembuskan napas dengan keras. Kepalanya beredenyut-denyut hingga bisa meledak
kapan saja. Gadis itu mendesah pelan kemudian memijat-mijat dahinya dengan
sebelah tangan. Hampir 10 menit Luna berdiri disamping ban berjalan, untuk
menunggu bagasi miliknya muncul dengan sendirinya.
Gadis
berambut panjang yang diurai dan berponi itu kembali melirik ujung ban berjalan
dengan tatapan lemas. Perjalanan yang cukup panjang dari Indonesia sudah
membuatnya stress dan ia juga harus menununggu untuk mendapatkan bagasinya.
Sungguh menguji kesabaran gadis itu. Mata Luna menangkap sebuah koper pink
terang yang sedang meluncur pelan mendekatinya. Gadis itu mengangkat koper yang
lumayan berat itu kemudian meletakannya dilantai, lalu menarik pegangannnya
dengan keras. Ia menghela napas lagi lalu menyeret koper disebelah tangan dan
menjinjing handbag ditangan lainnya
sambil melangkah cepat.
Kepalanya
kembali berdenyut-denyut. Luna menatap informasi cuaca yang menunjukkan suhu
udara disore itu yang mendekati -2 derajat Celcius. Ia menghentikan langkah
kaki yang tadinya melebar, lalu merapatkan overcoat
berwarna cream, kemudian merapikan syal yang berbahan wol dengan warna senada
yang dililitkan dileher. Ia memang sering berkunjung ke Roma jika libur sekolah
tiba, tapi tidak pernah berkunjung jika sedang musim dingin seperti sekarang
ini. Punggungnya terasa berat, dan ia setengah menyeret langkah kakinya.
Tiba-tiba senyum Luna perlahan mengembang. Ia menatap Ana yang sedang melambai
kearahnya, lalu pandangannya berpindah ke Juan, suami kakaknya itu juga sedang
tersenyum hingga giginya kelihatan.
Luna
melangkah mendekati pasangan suami istri itu kemudian menyapa mereka sambil
tersenyum lebar, lalu memeluk keduanya dengan hangat secara bergantian. “Gimana
kabarmu mba?” tanya Luna sambil menatap kakak yang ia rindukan selama setahun
ini, lalu ia menoleh kearah Juan. “How
are you going big brother?” tanya Luna sambil tersenyum dan dijawab Juan dengan
mengacak-acak rambut gadis itu. Luna mendesis kesal dan cemberut sambil
berujar, “I’m not a little girl anymore…!”
katanya tegas sambil merapikan rambut panjangnya yang lurus. Ana dan Juan
berpandangan, kemudian saling melemparkan senyuman. Luna semakin cemberut.
***
Luna merebahkan diri dikasur setelah tiba dirumah. Ia teringat akan oleh-oleh yang ingin ia berikan kepada Ana dan juga suaminya. Tiba-tiba Luna bangkit dari tidurnya dan melirik koper pink terang yang disandarkan di sudut ruangan. Ia menarik koper dan merebahkannya diatas kasur, lalu mencari kunci koper tersebut didalam handbag-nya. Gadis itu terpana, pasalnya kunci tak sesuai dengan gembok koper itu. Ia memaksa membuka untuk yang ketiga kalinya hingga kuncinya patah. Luna geram bukan kepalang. Ia melempar kunci yang patah itu, kemudian berlalu kedapur dan mendapati Ana dan juga Juan sedang asyik mengobrol dengan seorang pria. Dari penampilannya, Luna bisa menebak kalau pria itu jauh lebih tua diatasnya. 25 mungkin? pikir gadis itu menebak-nebak.
“What’s wrong
Luna? You look not good…apa kau tidak merasa
nyaman dengan kamarmu?” tanya Juan sedikit khawatir dan membuyarkan lamunan
adik iparnya itu. Pria berdarah Italia itu memang sosok yang perhatian dan
karena itulah Ana terpikat padanya. Luna menggeleng dengan cepat. “Ah, bukan.
Aku hanya mematahkan kunci gembok koperku tadi dan tidak tau bagaimana harus
membukanya,” ujarnya sambil menggaruk kepala.
“Oya Luna, ini Eric
Fernandez sepupu Juan yang baru datang dari Venezia kemarin sore,” ujar Ana
memperkenalkan. Keduanya saling menjabat tangan dan menyebutkan nama
masing-masing. Menurut Luna, Eric tipe orang yang bisa dekat dengan siapa saja.
Buktinya pria itu sedang mengoceh panjang lebar mengenai kota Venezia yang
katanya wajib dikunjungi gadis itu selama berada di Italia. Sementara Luna
hanya tersenyum tipis. Bukannya ia tidak suka, hanya saja ia terlalu lelah
walau hanya sekedar untuk berbasa-basi.
“Mungkin
Eric bisa menolong membuka kunci gembokmu. Dia memang ahli dalam segala hal,”
sahut Ana memberi saran. Sementara Eric hanya tersenyum tipis dan mengangkat
bahu. “Mungkin saja!”
***
Setelah
selesai membuka cengkraman gembok dari koper gadis itu, Eric tampak puas dengan
usahanya. Ia tersenyum tipis kemudian menarik napas panjang. “Selesai…”
sahutnya kemudian.
Luna
tersenyum lega dan menoleh kearah pria yang bermata biru itu sambil berujar, “mille grazie… per il suo aiuto[1]...”
sahutnya dengan bahasa Italia yang terbata-bata. Sementara Eric menatap gadis
itu sambil tersenyum tanpa alasan dan berlalu keluar kamar kemudian kembali
bergabung bersama Ana dan Juan diruang tengah.
“Tidak
mungkin!!! apa ini?” sahut Luna setengah shock. Ia terkejut ternyata itu
bukanlah koper miliknya. Luna baru menyadari hal itu ketika melihat kode
penerbangan yang tertera memang bukan namanya. Ia masih mematung dan hanya
menatap koper yang sama persis dengan miliknya. Ia membongkar isi muatan koper
tersebut dan yang terlihat hanyalah tumpukkan kain. Gadis itu tertegun menatap
sebuah kepingan kaset CD yang berada diantara tumpukan kain. Luna terlalu
penasaran dengan kaset tersebut, dan tanpa pikir panjang ia langsung memutarnya
dilaptop. Gadis itu kembali mengangkat keningnya, karena yang terlihat dilayar
hanyalah sekumpulan kode acak yang bergerak-gerak secara tidak beraturan. Ia
menekan tombol enter dan escape secara bergantian. Tiba-tiba
terdengar pintu kamar yang diketuk beberapa kali. Gadis itu tersentak kaget dan
bergegas membuka pintu. Sambil melipat tangan, Luna menatap Eric yang kini
sedang tersenyum lebar.
“Ana
dan juga Juan sedang pergi ke toko membeli bahan makanan untuk nanti malam
dan...” ujar Eric cepat dan ia terlihat sedikit bingung apa yang harus
dikatakannya. Luna masih tidak bergeming. Pria itu terlihat sedang berpikir
lalu melanjutkan, “apa kau mau makan sesuatu? Ana memintaku untuk memanggilmu,
setidaknya aku bisa membuatkanmu sepiring pasta atau...”
“Apa
kau bisa membuatkan lasagna untukku?” tanya Luna dengan mata berbinar-binar. Ia
memang penggemar berat makanan asal Italia itu. Eric menatapnya sejenak lalu
berujar, “tentu saja!”
“Tapi,
bisakah kau membantuku sekali lagi?” tanya Luna dengan tatapan memelas,
sementara Eric sedikit mengangkat keningnya. Gadis itu berbalik, kemudian
menunjuk kearah laptop yang diletakkan diatas tempat tidur. Luna menceritakan
perihal koper yang salah dan juga mengenai kepingan CD tersebut.
Pria
itu mendekati laptop dan melihatnya dengan seksama. Ia sedikit bingung, lalu
berusaha memecahkan kode tersebut. Tangannya bergerak cepat memencet keyboard laptop. Mata Eric terlihat awas
dan tangannya bergetar ketika kode yang berhasil ia pecahkan membentuk sebuah
kalimat, “Black Cappuccino.” Luna
memperhatikan perubahan sikap pria itu dan menatap Eric dengan tatapan
bertanya-tanya.
“You are in a big trouble…!” ujar Eric
sambil menoleh kearah Luna yang sedang memandanginya dengan pandangan bingung.
Tanpa menjelaskan apapun, dengan cepat Eric mengeluarkan kaset CD tersebut dari
laptop dan menarik tangan gadis itu menuju dapur. Luna yang masih bingung
dengan kejadian tersebut langsung mengibaskan tangan Eric. Pria itu membuang
napas dengan frustasi dan berujar, “aku tidak punya waktu untuk menjelaskan
ini. Kita harus segera pergi dari tempat ini sekarang juga,” ujarnya masih
belum menjelaskan apapun. Ia kembali menarik tangan Luna. “It’s too late…” sahutnya lagi ketika mendengar decitan mobil yang
tiba-tiba berhenti dari arah depan rumah.
Luna
pasrah dan ia juga masih tidak mengerti dengan sikap pria itu yang aneh. Eric
mendekap mulut Luna dan menarik lengan gadis itu kearah belakang pekarangan
rumah, kemudian bersembunyi diantara bunga-bunga yang rimbun. Kepanikkan Luna
semakin menjadi. Tubuhnya bergetar dan keringat dingin mengalir deras. Ia
menahan gejolak emosi yang tercekat di tenggorokkan.
“Listen to me carefully Luna, just stay here
beside me and please don’t make a sound…do you get it?” ujar Eric setengah
berbisik sambil memegang bahu gadis itu yang dijawab dengan anggukkan kepala
Luna yang lemah. Eric merogoh ponsel dari dalam saku jaketnya, lalu memencet
tombolnya dan berbicara dengan bahasa Italia yang sama sekali tidak dimengerti
gadis itu. Terdengar barang-barang yang berjatuhan dari dalam rumah, lebih tepatnya
kegaduhan. Luna menatap Eric dengan pandangan takut dan pria itu hanya
mengangkat jari telunjuk yang ditempelkan dibibir. Langkah sepatu semakin
terdengar jelas, dan seseorang tengah mendekati
tempat mereka bersembunyi!
Kepanikkan
Luna semakin menjadi-jadi. Ia mendekap mulutnya dengan kedua tangan, mencoba
menenangkan diri sendiri. Demi Tuhan, gadis itu belum pernah berada didalam
situasi seperti sekarang ini. Air matanya mengalir deras dan jantungnya
berdegup kencang. Waktu seakan tak mau berputar dan hanya berjalan lambat.
Sangat lambat, bahkan ia bisa menghitung setiap detiknya. Eric yang menyadari
kepanikkan gadis itu, kemudian mendekap Luna kedalam pelukkannya. “Come down…everything will be okay,”
bisiknya lirih nyaris tidak terdengar.
Langkah
orang yang sedang berjalan mendekati mereka terhenti dengan panggilan seseorang
dari ujung sana. Luna dan Eric akhirnya bisa bernapas lega. Dengan sigap, Eric
menarik tangan Luna dan berjalan cepat mendekati jendela kaca berukuran besar
yang berada dekat dengan tempat mereka bersembunyi. Pria itu membuka kaca
jendela dengan perlahan, kemudian menjelaskan kepada Luna bahwa mereka harus
melarikan diri secepatnya.
Keduanya
kini telah berada dihalaman samping rumah dan mencari cara agar bisa melarikkan
diri. Eric terlihat sedang memikirkan sesuatu, kemudian mengamati dengan
seksama situasi didalam rumah yang berantakan. Pria itu kembali mengintip dari
balik jendela dapur, tetapi ia tidak dapat melihat apapun karena memang
tertutup oleh tirai jendela. Ia hanya mendengar samar-samar apa yang mereka ucapkan. Tiba-tiba ponselnya
berbunyi nyaring. Luna tersentak kaget dan menatap Eric dengan pandangan
was-was, sementara pria itu buru-buru menonaktifkan ponselnya. Tapi tetap saja
mereka terlalu terlambat untuk menghindar, karena seorang pria yang mendengar
deringan ponsel itu langsung mendekati jendela tempat mereka berdiri. Keduanya
terkesiap sambil menahan napas.
Untuk
yang kesekian kalinya Eric menarik tangan Luna. Mereka berusaha lari sekencang
mungkin dengan badan setengah membungkuk, menuju sebuah mobil terdekat.
Tembakkan terdengar sekali, dua kali, dan kini berkali-kali. Eric menarik Luna lagi agar berlari didepannya.
Tiba-tiba pria itu meringis kesakitan. Eric menoleh kearah punggungnya yang
tertembak. Untung saja mereka berhasil mencapai mobil van hitam terdekat dan
menjadikannya sebagai tameng.
Ia
mengeluarkan sebuah pistol dari dalam bajunya dan menembak kearah orang-orang
itu dan sesekali bersandar dibelakang pintu mobil dengan napas yang
terengah-engah. Eric berteriak kearah Luna, “buka pintu mobil itu!” pinta pria
itu, lalu kembali menembak. Dengan tangan yang gemetar dan wajah Luna yang
semakin pucat pasi, Luna membuka pintu mobil. Eric langsung menyerobot kedalam
mobil, lalu disusul Luna dan mereka berhasil menjalankan mobilnya. Tentu saja
orang-orang itu tidak membiarkan mereka melarikan diri dengan mudah karena beberapa
mobil berusaha melakukan pengejaran.
Eric
mengemudi dengan kecepatan tinggi. Ia berusaha menekan pundaknya dengan sebelah
tangan agar tidak terlalu banyak mengeluarkan darah. Tapi ia menyimpir sebuah
sedan dan mobil van yang mereka tumpangi terhuyung kesamping. Luna sesegukkan
dan menutup kedua telinganya sambil merunduk. Tiba-tiba gadis itu mendengar
sebuah tembakkan tepat ditelinganya dan semuanya terasa gelap, sunyi…
***
Sebuah basement yang berada diruang bawah tanah terlihat terang-benderang dengan sinar lampu neon putih yang cerah. Eric melingkari perban putih dipundaknya, lalu melirik seorang gadis yang sedang terbaring disofa yang masih tertidur pulas. Atau lebih tepatnya pingsan? Entahlah… yang penting gadis itu tidak terluka sedikitpun, pikir Eric dalam hati. Pria itu meraih jaket dengan sebelah tangan dan merogoh sakunya. Ia menemukan sebuah kaset CD dan ia tidak menyangka bisa mendapatkan benda tersebut secara tidak sengaja. Padahal ia sudah berusaha keras mencari tau tentang informasi jaringan organisasi teroris international yang berlebelkan “Black Cappuccino” itu, selama ia menjadi seorang agen lapangan di FBI. Ia menemukan beberapa data penting dari dalam CD tersebut. Pria itu menatap layar computer tanpa berkedip sambil memainkan jari-jari tangannya di keyboard, lalu kini perhatian hanya tertuju pada sebuah folder yang bertuliskan “Italian Job.” Tak lama kemudian, Eric tercengang dengan apa yang ia lihat. Tangannya bergetar hebat dan bola matanya membesar.
***
Luna
membuka matanya perlahan dan melihat langit-langit ruangan yang sedang
berputar-putar mengililinginya. Dunia lainkah ini? Apakah ini yang dinamakan
surga? tanya gadis itu dalam hati. Tiba-tiba sesosok wajah tampan bermata biru
muncul dihadapannya dengan senyuman yang menghiasi. Malaikatkah engkau? pikirnya
lagi.
“How do you feel?”
tanya orang yang suaranya terdengar jelas ditelinga gadis itu. Luna baru
menyadari itu wajah Eric dan ia memang masih berpijak dibumi. Kilasan-kilasan
kejadian mengerikan hari ini kembali menyusupi ingatannya. Tiba-tiba saja ia
bangkit dari tidurnya dan menyentuh kepala yang serasa mau meledak. Dan tentu
saja Luna masih menyimpan segudang pertanyaan kepada pria yang ada dihadapannya
itu.
Eric
dengan senang hati menjelaskan perihal kejadian tadi, juga mengenai identitas
aslinya sebagai agen FBI yang memang tidak banyak diketahui orang banyak. Ia
terlalu takut jika Luna sampai tidak mempercayainya. Memang aneh, tapi dalam
hati Eric benar-benar berterima kasih kepada gadis itu karena informasi yang ia
dapatkan bahkan lebih berharga dari nyawanya. Luna hanya mengangguk-ngangguk
mengerti, namun perasaannya masih kacau dengan pengalaman buruknya itu. Eric
meminta Luna untuk tidak menghawatirkan kakaknya dan tetap berbaring disofa
hingga Ana datang menjemputnya.
***
Hampir
enam jam berlalu, tapi tidak ada tanda-tanda jika Ana ataupun Juan muncul untuk
menjemputnya. Luna menyisir pemandangan disekitarnya dengan perasaan was-was
yang mulai membendung hati dan pikirannya. Eric belum juga kembali setelah
pergi beberapa saat yang lalu. Mungkinkah Eric sudah membohonginya? Mungkinkah
pria itu adalah salah satu anggota mafia? dan beribu pertanyaan lainnya. Ia
mulai berprasangka buruk terhadap pria itu. Luna bangkit dari sofa dan meraba
saku celana pendek yang sedang dipakainya. Untung saja ia mempunyai kebiasaan
unik yang selalu menyimpan ponsel disaku baju atau celana walau ia berada
didalam rumah sekalipun. Dengan cepat ia memencet tombol ponsel dan nada
sambung mulai terhubung. “Hallo...Oh, Juan?
This is Luna speaking. Where is my
sister? Is she okay?” tanya gadis
itu sambil bergerak-gerak gelisah dan anehnya, Juan menjawab dengan nada gugup
dan terdengar takut. Tidak biasanya kakak iparnya bersikap seperti itu. Dan
tut…tut…tut…panggilan yang terhubung tiba-tiba putus. Luna kebingungan setengah
mati.
Beberapa
jam kemudian, pintu basement berdecit kuat. Wajah Eric muncul dari balik pintu
dengan senyumannya yang khas dan memandangi Luna dengan wajah bingung. Gadis
itu terperanjat dan langsung panik. Ia menyambar sebuah tongkat baseball
terdekat dan mengarahkannya kearah Eric dengan tangan yang bergetar. “Who are you?” tanya Luna dengan nada
tinggi. Ia menarik napas dalam-dalam dan kembali menanyakan hal yang sama,
sementara pria itu masih bingung dengan sikap Luna. Eric menggaruk kepalanya
dan memandangi gadis itu. “Bukankah sudah kujelaskan tadi? aku ini seorang agen
FBI!” ujar Eric dengan nada yakin. Tapi Luna tetap tak mau mendengarnya dan
terus mengarahkan tongkat tersebut.
Tiba-tiba
seseorang yang sudah sangat dikenal Luna muncul dari balik punggung Eric. Luna
menjatuhkan tongkat baseball dan berlari kearahnya. Ia mendekap orang itu dan
menangis sejadinya. “Mba gak pa-pa kan?” tanya Luna panik begitu juga dengan
kakaknya. Mereka saling menanyakan keadaan masing-masing dan menangis tanpa
melepaskan pelukkan. Eric membuang napas dengan pelan dan tersenyum tipis,
kemudian mengambil dua kaleng minuman ringan dari dalam kulkas.
Setelah
yakin dengan keadaan masing-masing, kedua kakak-beradik itu lalu bersandar
disofa sambil memegang minuman kaleng yang disodorkan Eric. Ana masih saja
terdiam, wajahnya seperti baru mengalami hal yang paling buruk. Bahkan ada luka
lebam diwajahnya. Luna menggenggam tangan kakaknya dan menanyakan apa yang
sebenarnya terjadi. “Lalu dimana Juan, mba? tadi Luna sudah menelponnya dan…”
ujar Luna tapi tiba-tiba ia terhenti karena air mata Ana yang semakin mengalir
deras. Eric memang tidak mengerti apa yang Luna ucapkan dengan bahasa
Indonesia, tetapi ketika mendengar nama Juan disebut, ia langsung menoleh
kearah gadis itu. Begitu juga dengan Luna yang kini sedang memandang Eric
dengan bingung.
“Don’t ask about him anymore
Luna,” jawab Eric mengambang tanpa penjelasan. Luna semakin bingung. Eric
melanjutkan, “he’s one of them…my cousin
and your sister’s husband Juan,” ujarnya pelan. Sementara Luna begitu
terkejut dengan kenyataan itu. Apa ia sudah salah mendengarnya? Juan seorang
suami yang perhatian adalah salah satu dari anggota terosist itu? tanya Luna
dalam hati. Gadis itu langsung menyadari kesedihan Ana dan kembali memeluk
kakaknya itu.
“Entah
apa yang sudah terjadi jika Eric terlambat menyelamatkan mba, Na. Mba masih
belum percaya dengan semua ini,” ujar Ana lirih sambil menahan tangis. Seakan
baru menyadari sesuatu, Luna melepaskan pelukannya dari Ana dan menatap Eric
dengan pandangan takut. “I called Juan
before…” ungkap gadis itu. Ana dan Eric saling berpandangan. Dengan sigap
Eric langsung mematikan system komputernya dan meraih CD kedalam tas, juga mengambil
beberapa senjata yang tersimpan di sebuah koper hitam dari dalam lemari besi. “Good job little girl…kau akan membuat
kita semua kembali berada dalam bahaya,” ujar Eric dengan nada sarkatis.
Untungnya
mereka lebih cepat keluar dari basement sebelum orang-orang itu berhasil
melacak keberadaan tempat tersebut. Dari kaca spion mobil, Eric mengamati
beberapa orang dengan pakaian serba hitam yang memasuki tempat ruangan basement
berada. Mata Luna membesar ketika menangkap sosok Juan ada diantara mereka.
Gadis itu menoleh kearah Ana yang sedang mematung dan begitu terpukul.
***
Mobil
yang dikendarai Eric meluncur dengan pelan menantang hujan salju yang
berjatuhan. Luna memandang keluar jendela mobil sambil menarik napas panjang,
menatap matahari yang baru muncul dari balik awan. Tapi bagaimanapun juga, ia
bersyukur karena dengan begitu setidaknya identitas asli Juan terbongkar dan
kakaknya dalam keadaan baik-baik saja. Ia juga pasti akan berpikir dua kali
jika ingin mengunjungi kota Roma lagi. Tentu saja ia sangat trauma dengan
pengalaman buruk selama berada disini.
“Apa
yang kau pikirkan?” tanya Eric sambil menoleh kearah Luna yang duduk dan melamun disampingnya. Sementara Ana
sedang terlelap dibagian belakang mobil. Luna kembali menarik napas panjang. “Thank you so much…and le domando scusa[2],”
ujarnya yang mencampurkan bahasa Inggris dengan bahasa Italia. Eric
mendesah pelan dan kembali membuka suara, “tidak, seharusnya aku yang berterima
kasih. Kau membuat pekerjaan yang bertahun-tahun kukejar akhirnya mendapatkan
hasil.” Eric tidak mempedulikan tatapan Luna yang bertanya-tanya. Ia
melanjutkan, “sebagai imbalannya, aku sudah memesan dua tiket ke Indonesia hari
ini juga. So, you don’t have to worry
about that!” ujar Eric pelan. Untuk yang kesekian kalinya, Luna menarik
napas panjang.
***
Luna
Olivia tidak menyangka bisa berada dibandara selama dua hari berturut-turut,
dan kali ini ia bahkan tidak membawa apapun. Tak ada koper pink yang sudah
membuatnya trauma. Mungkin ia bahkan tidak berani menyentuh koper-koper
lainnya. Tapi ia sudah mempelajari satu hal, yakni ia harus berhati-hati
terhadap barang yang bukan miliknya, ataupun berhati-hati terhadap apapun
disekitarnya. Karena bahaya memang bisa datang dimanapun dan kapanpun.
Ana
berusaha menekan perasaan sedihnya dan berusaha tegar. Ia memeluk Eric dan
berterima kasih atas bantuan pria itu. Ia bahkan tidak berani percaya pada
kenyataan menyakitkan mengenai Juan, seorang suami yang sudah mendampinginya selama
dua tahun terakhir. Luna dan Ana bergantian mengucapkan kata-kata perpisahan
kepada Eric. Ana kembali memeluk Eric dan berujar, “mungkin kami tidak akan
pernah kembali kekota ini Eric. Tapi kau harus mengujungi kami di Indonesia
kapanpun kau mau,” jelas Ana lalu ia seperti melihat seseorang dengan mantel
hitam yang sedang memperhatikan mereka. Dalam hitungan ketiga orang itu sedang
mengarahkan pistol kearah mereka. Tepatnya kearah Luna karena gadis itu berdiri
dibelakang Ana dan Eric.
Ana
berlari kearah Luna dan bunyi tembakan menggelegar di seantero bandara Ciampino.
Orang-orang berlarian panik. Eric mengeluarkan pistol dari dalam mantel abu-abu
yang dipakainya dan mengejar orang itu. Sementara Luna terpaku dan matanya
terkejut luar biasa. Tubuh Ana jatuh kelantai dari pelukan Luna dan darah mengalir
deras dari kepalanya.
Tangan
Luna bergetar dan air matanya mulai berjatuhan. Ia tersungkur kelantai,
kemudian mengangkat kepala Ana kepangkuannya. Ia menatap kakaknya yang sedang
menarik napas dengan susah payah. “Hi-dup-lah dengan baik…” ujar Ana
terpotong-potong sambil menarik napas yang hanya sampai ditenggorokkan dan
akhirnya ia tak lagi berucap lagi. Luna menangis histeris dan terus memeluk Ana
yang kini sudah tidak bergerak sedikitpun. Hatinya seperti ditusuk-tusuk.
Sakit.
Comments
Post a Comment